Jumat, 11 Januari 2013

Museum Layang-layang


                Hah..aku menarik nafas lega, setelah terhindar dari kemacetan di daerah Pondok Labu. Yah begitulah Jakarta, walaupun sebenarnya keriaan arus mudik terjadi di daerah Terminal Lebak Bulus, imbasnya terasa ke berbagai daerah di sekitarnya.
                Banyak yang tak mengetahui keberadan museum yang terletak di jalan Haji Kamang no 38 ini. Dan sore itu, hanya kamilah pengunjung museum itu, bahkan satpam yang menjaga di depan pagar juga tak tahu pasti apakah museum beroperasional atau tidak. ”Didalam ada yang jaga ticket, tanya aja...mungkin buka...kali”, seraya berkata. Seperti memasuki dimensi lain di saat memasuki ruang museum ini. Ruang dimana hanya ada sunyi, dan fakta tersembunyi.
                Tour di Museum Layang-layang ini, diawali dengan menonton tayangan televisi. Entah mengapa, walau tayangan ini tidak disiarkan dengan format LCD, namun cukup menyihir kami untuk diam dan menonton. Padahal kalau ada tayangan seperti ini di televisi rumah, pasti tangan kita sudah gatal untuk meraih remote dan memindah chanel.
                Dan wow...di tayangan tersebut, kami melihat layangan yang begitu besar, hingga memerlukan sebuah truk untuk mengangkatnya. Kami melihat layang-layang tiga dimensi berterbangan di angkasa. Layang-layang dari Bali meliuk dengan lincah menggoyangkan buntutnya yang panjangnya mencapai 250 meter.
                Setelah itu kita dipandu ke sebuah pendopo dimana layang-layang  yang tadi beraksi ditayangan tersebut disimpan.Layang-layang dari berbagai daerah dan berbagai negara dipamerkan disana. Layang-layang dengan bentuk delman lengkap dengan kuda penarik yang ukurannya kurang lebih sama dengan aslinya tergantung di langit-langit . Ada juga layang-layang terkecil yang ukurannya hanya 2x2cm2.
                Pernah mendengar memancing kalong? Ternyata memancing kalong itu dengan layang-layang. Ini biasa dilakukan di pulau Kalimantan. Dimana pada benang Layang-layang disangkutkan kail, hingga saat kumpulan kalong terbang melewati, layang-layang langsung ditarik, dan tertangkaplah mangsa.
                Setelah tour tersebut kita juga berkesempatan untuk membuat layang-layang sendiri. Wow sungguh seperti kembali ke masa anak-anak. Masa yang ceria, lepas tanpa beban pikiran. Sehabis itu berlarianlah kita menerbangkan layang-layang. Sungguh melupakan beban yang ada di luar pagar sana.
END

Jumat, 04 Januari 2013

Museum Bank Mandiri


Mengunjungi museum, seperti menaiki mesin waktu. Sesaat kita akan berpikir betapa rumitnya cara berpikir orang jaman dulu ataupun betapa simpelnya cara berpikir orang jaman dahulu kala.
Sore itu kami mengunjungi museum Bank Mandiri di bilangan daerah kota. Bangunan yang diresmikan pada 14 Januari 1933, dulunya direncanakan sebagai kantor baru Nederland Indische Handlesbank, dan sebelum menjadi aset Bank Mandiri, gedung ini merupakan kantor cabang Bank Bumi Daya.
Kami melihat betapa sangat complicatednya sebuah bangunan bank di jaman dahulu.  Jaman dimana file digital belum ada, karenanya di perlukan sebuah ruangan yang sangat besar untuk menyimpan file. Jaman dimana ATM belum ada, sehingga diperlukan peti-peti besar untuk membawa uang. Buku besar akunting ternyata berarti secara harafiaf, buku yang sangat besar untuk menulis angka-angka. Mesin-mesin yang begitu besar,  dan tidak effisien dalam ”kaca mata masa kini” kami.
Bila melihat bangunan bank ini, tak pernah terbayangkan oleh saya, bahwa sebuah bank memerlukan tempat seboros ini. Bandingkan dengan jaman sekarang , sebuah bank bisa berupa ruangan berukuran 5x10m, dengan 3 buah set kursi dan meja kantor serta counter kecil, dan ruangan itu masih terasa sangat spacious. Memang jaman dahulu kala ruangan serba boros yah...karena segala macam benda masih masih kasat mata, tapi justru jaman itu  udara masih cukup mempunyai ruang untuk bersepoi. Bandingkan dengan udara sore ini yang terasa sangat lembab dan sumpek. Padahal secara arsitektur, bangunan bank ini sangat ideal mengikuti kaidah bangunan tropis.
Bangunan ini memiliki void yang cukup besar, berupa taman yang terletak ditengah-tegah bangunan. Dengan langit-langit yang tinggi. Sehingga semestinya setiap ruangan di dalam bangunan ini selalu mendapat suplay angin segar sepanjang hari. Koridor- koridor yang luas, area tangga yang luas yang sudah jarang kita temui di banguan-bangunan masa kini.
Bangunan ini adalah sebuah bank, seharusnya tidak ada kejadian aneh disini. Seperti yang biasanya layak terjadi, di bangunan yang memiliki sejarah pahit seperti penjara, pikirku sore itu. Namun entah mengapa aku merasakan suatu sensasi yang aneh saat memasuki ruang penyimpanan arsip yang berupa sebuah brankas besar. Apakah ini efek yang ditimbulkan karena berada di sebuah ruangan tertutup tanpa ada akses visual keluar. Dan entah mengapa kehadiran patung-patung yang menyerupai pegawai bank pada jaman itu, menambah kengerian saya. Patung-patung itu nampak serius bekerja dalam kebekuan mereka, dan saya merasa seperti orang yang tak tampak di tengah-tengah mereka. Mungkin ini rasanya bila menjadi orang yang tak terlihat yah.
Derajat kengerian saya memuncak , ketika memasuki ruangan di bagian bawah bangunan ini. Ruangan itu adalah ruangan tempat peyimpanan surat-surat berharga para nasabah. Berupa ruangan yang luas dan didalamnya terdapat deretan lemari penyimpanan arsip. Di dalam ruangan ini ada patung-patung manusia, yang menyerupai seorang pegawai berpangkat tinggi berkebangsaan Belanda, seorang pegawai berkebangsaan Indonesia, dan serang tentara yang sedang memegang senapan laras panjang. Entah mengapa kombinasi kehadiran mereka bertiga membuat saya tambah ngeri. Lagi-lagi saya merasa menjadi manusia yang tak tampak. Saya merasakan raut yang tanpa harapan di wajah ”pegawai” pribumi tersebut. Dengan pakaian seragam kemeja putih dan bercelana selutut berwarna hitam ia seperti seorang pegawai yang bekerja di bawah tekanan. Kehadiran serdadu bersenapan di sampingnya makin memperjelas hal itu.
Adanya diskriminasi pada jaman itu, dapat terlihat di bangunan ini. Di bangunan ini ada sebuah ruangan toilet yang diperuntukan untuk pegawai pribumi. Dan untuk orang-orang beretnis Cina, yang sangat di spesialkan pada jaman itu, terdapat area pelayanan khusus, yang dinamakan kas Cina. Sebuah area counter yang dilayani pegawai beretnis Cina lengkap dengan pakaian cheongsam serta tulisan-tulisan aksara cina di dindingnya. Di bangunan inipun terdapat lift khusus untuk para direksi. Warna lantai serta warna wastafel di setiap ruangan juga membedakan divisi para direksi.