Rabu, 20 Februari 2013

Soto Sapi enak di Roxy

gak banyak bicara tentang rasa soto ini, cukup lihat dari banyaknya orang yang datang ke tempat ini. Soto Roxy H.Darwasa
 Kalo pas masuk pintu lihat foto ini, pasti sudah bener tempatnya. Beliau adalah pemilik warung soto ini dari awal.

Pluit

pertama kali memasuki  daerah Pluit, my first impression adalah : waduh kok tiba - tiba saya mengalami penurunan kurs rupiah  di negara sendiri yah.
Iklan-iklan rumah kok angkanya jadi sedikit amat...,biasa yang saya suka liat kan...promo  400 jt-an, lah kalau ini harga rumah 10,5 M, cicilan 55 jt/bulan, wow..wow..wow..I feel like in a different place at my own city. 




suasana pedesterian tempat makan di daerah PIK (pantai indah kapuk)



dan wow..lihat sekolah besar ini....kayak di Beijing yah

Kamis, 14 Februari 2013

La fayette va ovrir a Jakarta?

La fayette va ovrir a Jakarta? Je ne sais pas, mais...posternya sich udah ada gede banget di Pacfic Place Desember 2012...hm nikamti aja foto-foto di depan posternya yang simpel and keren.




Rumah Giri Lawu, Bintaro Sektor 2

Hm Bintaro masih masuk Jakarta gak yah...terpencil banget tempatnya...tapi di tempat ini aku temukan sebuah tempat unik, etnik nan cantik bernama Giri Lawu. Menurut sang empunya rumah ini belum jelas fungsinya untuk apa, mau bikin restaurant tapi kokinya belum ada, mau bikin bar tapi baristanya belum ada jadi rumah ini di gratiskan untuk kepentingan komunitas. Ada banyak cerita di setiap sudut rumah ini.
Sang pemilik rumah membeli satu set gadebokan wayang kulit yang dibeli dari Jogja. "Di german aja ada museum wayang kulit masak sich disini tidak ada" ujarnya.
Dibagian halaman rumah itu juga terdapat stupa yang asli dari Jogja, yang beliau beli saat daerah tersebut terkena muntahan gunung berapi.
Setiap sudut rumahnya memiliki banyak kisah.














Disebrang rumah itu ada sebuah restaurant nyaman, yang sepintas dari luar tidak terlihat seperti rumah makan.







Little Spore in Jakarta

Yes I found it, Its call Rasuna Epicentrum.  Karena tempat ini kalah gaungnya sama mal-mal besar di Jakarta, tempat ini justru jadi lebih nyaman dinikmati. Dan di tempat ini katanya ada trem untuk masuk ke tengah tengah mal, walau saya belum pernah nemuin sich.
Konsep bioskop XXI disini juga unik, cuma disini aja loh studio XXI yang berupa gedung tersendiri berada di lantai dasar.


Dan hanya di area ini pernah di gelar acara jember fashion festival.
coba dech perhatiin designnya oke banget kan....segala aspek bentuk dimix dalam komposisi yang apik

Jumat, 11 Januari 2013

Museum Layang-layang


                Hah..aku menarik nafas lega, setelah terhindar dari kemacetan di daerah Pondok Labu. Yah begitulah Jakarta, walaupun sebenarnya keriaan arus mudik terjadi di daerah Terminal Lebak Bulus, imbasnya terasa ke berbagai daerah di sekitarnya.
                Banyak yang tak mengetahui keberadan museum yang terletak di jalan Haji Kamang no 38 ini. Dan sore itu, hanya kamilah pengunjung museum itu, bahkan satpam yang menjaga di depan pagar juga tak tahu pasti apakah museum beroperasional atau tidak. ”Didalam ada yang jaga ticket, tanya aja...mungkin buka...kali”, seraya berkata. Seperti memasuki dimensi lain di saat memasuki ruang museum ini. Ruang dimana hanya ada sunyi, dan fakta tersembunyi.
                Tour di Museum Layang-layang ini, diawali dengan menonton tayangan televisi. Entah mengapa, walau tayangan ini tidak disiarkan dengan format LCD, namun cukup menyihir kami untuk diam dan menonton. Padahal kalau ada tayangan seperti ini di televisi rumah, pasti tangan kita sudah gatal untuk meraih remote dan memindah chanel.
                Dan wow...di tayangan tersebut, kami melihat layangan yang begitu besar, hingga memerlukan sebuah truk untuk mengangkatnya. Kami melihat layang-layang tiga dimensi berterbangan di angkasa. Layang-layang dari Bali meliuk dengan lincah menggoyangkan buntutnya yang panjangnya mencapai 250 meter.
                Setelah itu kita dipandu ke sebuah pendopo dimana layang-layang  yang tadi beraksi ditayangan tersebut disimpan.Layang-layang dari berbagai daerah dan berbagai negara dipamerkan disana. Layang-layang dengan bentuk delman lengkap dengan kuda penarik yang ukurannya kurang lebih sama dengan aslinya tergantung di langit-langit . Ada juga layang-layang terkecil yang ukurannya hanya 2x2cm2.
                Pernah mendengar memancing kalong? Ternyata memancing kalong itu dengan layang-layang. Ini biasa dilakukan di pulau Kalimantan. Dimana pada benang Layang-layang disangkutkan kail, hingga saat kumpulan kalong terbang melewati, layang-layang langsung ditarik, dan tertangkaplah mangsa.
                Setelah tour tersebut kita juga berkesempatan untuk membuat layang-layang sendiri. Wow sungguh seperti kembali ke masa anak-anak. Masa yang ceria, lepas tanpa beban pikiran. Sehabis itu berlarianlah kita menerbangkan layang-layang. Sungguh melupakan beban yang ada di luar pagar sana.
END

Jumat, 04 Januari 2013

Museum Bank Mandiri


Mengunjungi museum, seperti menaiki mesin waktu. Sesaat kita akan berpikir betapa rumitnya cara berpikir orang jaman dulu ataupun betapa simpelnya cara berpikir orang jaman dahulu kala.
Sore itu kami mengunjungi museum Bank Mandiri di bilangan daerah kota. Bangunan yang diresmikan pada 14 Januari 1933, dulunya direncanakan sebagai kantor baru Nederland Indische Handlesbank, dan sebelum menjadi aset Bank Mandiri, gedung ini merupakan kantor cabang Bank Bumi Daya.
Kami melihat betapa sangat complicatednya sebuah bangunan bank di jaman dahulu.  Jaman dimana file digital belum ada, karenanya di perlukan sebuah ruangan yang sangat besar untuk menyimpan file. Jaman dimana ATM belum ada, sehingga diperlukan peti-peti besar untuk membawa uang. Buku besar akunting ternyata berarti secara harafiaf, buku yang sangat besar untuk menulis angka-angka. Mesin-mesin yang begitu besar,  dan tidak effisien dalam ”kaca mata masa kini” kami.
Bila melihat bangunan bank ini, tak pernah terbayangkan oleh saya, bahwa sebuah bank memerlukan tempat seboros ini. Bandingkan dengan jaman sekarang , sebuah bank bisa berupa ruangan berukuran 5x10m, dengan 3 buah set kursi dan meja kantor serta counter kecil, dan ruangan itu masih terasa sangat spacious. Memang jaman dahulu kala ruangan serba boros yah...karena segala macam benda masih masih kasat mata, tapi justru jaman itu  udara masih cukup mempunyai ruang untuk bersepoi. Bandingkan dengan udara sore ini yang terasa sangat lembab dan sumpek. Padahal secara arsitektur, bangunan bank ini sangat ideal mengikuti kaidah bangunan tropis.
Bangunan ini memiliki void yang cukup besar, berupa taman yang terletak ditengah-tegah bangunan. Dengan langit-langit yang tinggi. Sehingga semestinya setiap ruangan di dalam bangunan ini selalu mendapat suplay angin segar sepanjang hari. Koridor- koridor yang luas, area tangga yang luas yang sudah jarang kita temui di banguan-bangunan masa kini.
Bangunan ini adalah sebuah bank, seharusnya tidak ada kejadian aneh disini. Seperti yang biasanya layak terjadi, di bangunan yang memiliki sejarah pahit seperti penjara, pikirku sore itu. Namun entah mengapa aku merasakan suatu sensasi yang aneh saat memasuki ruang penyimpanan arsip yang berupa sebuah brankas besar. Apakah ini efek yang ditimbulkan karena berada di sebuah ruangan tertutup tanpa ada akses visual keluar. Dan entah mengapa kehadiran patung-patung yang menyerupai pegawai bank pada jaman itu, menambah kengerian saya. Patung-patung itu nampak serius bekerja dalam kebekuan mereka, dan saya merasa seperti orang yang tak tampak di tengah-tengah mereka. Mungkin ini rasanya bila menjadi orang yang tak terlihat yah.
Derajat kengerian saya memuncak , ketika memasuki ruangan di bagian bawah bangunan ini. Ruangan itu adalah ruangan tempat peyimpanan surat-surat berharga para nasabah. Berupa ruangan yang luas dan didalamnya terdapat deretan lemari penyimpanan arsip. Di dalam ruangan ini ada patung-patung manusia, yang menyerupai seorang pegawai berpangkat tinggi berkebangsaan Belanda, seorang pegawai berkebangsaan Indonesia, dan serang tentara yang sedang memegang senapan laras panjang. Entah mengapa kombinasi kehadiran mereka bertiga membuat saya tambah ngeri. Lagi-lagi saya merasa menjadi manusia yang tak tampak. Saya merasakan raut yang tanpa harapan di wajah ”pegawai” pribumi tersebut. Dengan pakaian seragam kemeja putih dan bercelana selutut berwarna hitam ia seperti seorang pegawai yang bekerja di bawah tekanan. Kehadiran serdadu bersenapan di sampingnya makin memperjelas hal itu.
Adanya diskriminasi pada jaman itu, dapat terlihat di bangunan ini. Di bangunan ini ada sebuah ruangan toilet yang diperuntukan untuk pegawai pribumi. Dan untuk orang-orang beretnis Cina, yang sangat di spesialkan pada jaman itu, terdapat area pelayanan khusus, yang dinamakan kas Cina. Sebuah area counter yang dilayani pegawai beretnis Cina lengkap dengan pakaian cheongsam serta tulisan-tulisan aksara cina di dindingnya. Di bangunan inipun terdapat lift khusus untuk para direksi. Warna lantai serta warna wastafel di setiap ruangan juga membedakan divisi para direksi.