Jakarta, my city

Jumat, 08 September 2017

Halim Perdana Kusuma

Halim Perdana Kusuma
Who's that?
It must be "someone" in the past. But now thats the name of Jakarta Airport.

Sepertinya from now on saya harus lebih teliti untuk membeli tiket, karena ada 2 bandara di Jakarta. (itu yang tertulisnya sih, karena Bandara Soekarno Hatta walaupun posisinya dekat dengan Jakarta Barat, actually it is in Tangerang)

Jadi ceritanya saya salah membeli tiket pulang,sehingga saya harus mendarat di Halim Perdana Kusuma.

Namun lucu juga sih..jadi saya berkesempatan melihat bandara ini.

Bandara yang tidak semegah Soekarno Hatta ini di branding menjadi « The Legend Airport ».

Dan karena bandara ini letaknya benar-benar berlokasi di Jakarta, ada patung ondel-ondel dan porter nya berseragam ala-ala Betawi deh.

Jadi Bandara ini bener bener Jakarta slash Betawi deh.

Yang saya bingung ada iklan Grab disini. Saya pikir bandara ini pro kepada Taxi Online itu. Namun kata supir Taxi Puskopau yang saya naiki, yah Taxi lain yang berani masuk sini akan diproses oleh BKAU.

Namun saya cukup puas dengan Taxi Puskopau berplat hitam ini. Tarifnya flat sudah termasuk parkir, tol dan antisipasi macet. Rp 250.000 untuk Zona Jakarta Barat

Sebenarnya kalau gambar - gambar ini didisplay ala ala Galery akan lebih bagus sih

Kamis, 02 April 2015

BNI 46, Ikon of Jakarta

Saya suka sekali dengan gedung ini, bentuknya simple namun sungguh mengena! Saya yakin semua arsitek dalam proses perancangannya ingin karyanya menjadi yang ter -...menjadi ikonik, namun tak semua arsitek itu mendapatkan apa yang mereka harapkan. Donc Felicitation pour FeZeidler Roberts Partnership (Zeidler Partnership Architects) et DP Architects Private Ltd! The architect team of BNI 46 building. Gedung berlantai 46 yang rampung pada tahun 1996, sukses menjadi ikon kota Jakarta sampai sekarang.

Karena ketertarikan saya itu kemana saya pergi dan melihat gedung ini pasti saya abadikan

BNI 46 in frame!

Dalam keramaian ia tetap terlihat menjulang - menjadi perhatian bukan berarti harus penuh riasan - less is more

Dear BNI, sebentar lagi kamu akan punya tetangga baru- gedung yang punya obsesi yang yang sama seperti gedung lainnya...menjadi ter ini dan ter itu...

Bahkan keberadaan gedung ini menjadi daya tarik marketing "view to iconic building of Jakarta"

Minggu, 29 Maret 2015

Bakoel Koffie

Sejarah Bakoel Koffie dimulai pada abad ke-19, ketika seorang imigran dari Cina Selatan, tepatnya Guangdong, yang bernama Liaw Tek Sun (Liau Tek Siong) dan istrinya yang merupakan pendudukan Indonesia asli mendirikan sebuah warung nasi. Berlokasi di Molenvliet Oost (sekarang Jalan Hayam Wuruk 56/57), warung nasi tersebut ramai dikunjungi oleh pengayuh becak. Dikarenakan letak warung tersebut yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya, maka warga lebih sering mengenalnya dengan sebutan "Warung Tinggi". Sejak tahun 1987, tamu-tamu yang datang lebih menyukai kopi yang dijual Liaw Tek Sun dibandingkan masakan di warung tersebut.^[2]

Sejak lama, Liaw Tek Sun membeli biji kopi dari seorang wanita yang membawanya dengan bakul. Liaw Tek Sun menggunakan kayu bakar untuk memanggang biji kopi tersebut dan menyeduhnya untuk para tamu. Pada tahun 1927, Liaw Tek Sun mendirikan pabrik kopi pertama di Weltevreden yang dinamakan Tek Sun Ho, Eerstee Weltrever-denschee Koffiebranderij.^[3] Dua tahun kemudian, dia menyerahkan usaha keluarga tersebut ke anaknya Wudjan Widjaja (Liauw Sim Yao).^[4] Para pelanggan toko kopi ini telah meluas, tidak hanya penduduk lokal dan Tionghoa, tetapi juga orang Belanda, Arab, dan Jepang.

Pada tahun 1930, Bakoel Koffie pertama kali mengekspor bubuk kopi ke Belanda dan pelanggan dapat memesan campuran biji robusta dan arabika. Ketika Tek Sun Ho merayakan ulang tahun ke-60 (tahun 1938), toko tersebut telah mengembangkan metode memanggang biji kopi dengan rotating drum tetapi tetap menggunakan kayu bakar. Perayaan ulang tahun tersebut diisi dengan memberikan makanan enak kepada pengunjung dan mereka juga boleh meminum kopi sebanyak yang mereka inginkan.^[2]